Di Indonesia ada kejadian yg sangat aneh,yaitu zat cair yg bsa naik ke atas,berdasarkan rumus Pengetahuan Alam bahwa zat cair itu akan turun ke bawah,tetapi BBM yg termasuk zat cair malah naik ke atas.
Indonesia Corruption Watch mengharapkan agar kebijakan pemerintah
untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dijadikan alat
politik pencitraan penguasa. Menurut Koordinator Divisi Pengawasan
Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, harga BBM bisa saja berubah lagi
menjelang Pemilihan Umum 2014 sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang
berkuasa.
"Bisa saja dinaikkan dulu, kemudian diturunkan lagi
harganya pada saat jelang Pemilu atau tahun 2013 nanti, kemudian
diklaim, 'Kami pemerintah dan politisi yang sudah menurunkan BBM
berkali-kali.' Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi," ujar
Firdaus dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Rabu (28/3/2012).
Dugaan
lain ICW terkait kebijakan kenaikan harga BBM ini adalah pemerintah dan
DPR RI bersikap tidak transparan kepada publik dalam menjelaskan
kalkulasi perhitungan biaya subsidi BBM ini. Firdaus menduga hal itu
dilakukan agar nantinya ada penggelembungan dana (mark up) yang
dipakai untuk kepentingan bersama.
Firdaus berpendapat, DPR
seharusnya mengetahui jelas perhitungan biaya subsidi pemerintah yang
diduga terdapat dugaan mark up Rp 30 triliun. Ada perbedaan
hasil perhitungan biaya subsidi BBM antara pemerintah dan ICW, yang kata
Firdaus harus ditelusuri kembali. ICW juga menghitung dengan metode
yang sama dengan pemerintah. Menurut ICW, jika harga BBM jenis premium
dan solar tidak naik atau tetap di harga Rp 4.500/liter, maka total
beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Hal ini berbeda dari
perhitungan pemerintah beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun
jika harga BBM tersebut tidak dinaikkan.
Perbedaan hitungan inilah
yang menunjukkan indikasi mark up sebesar Rp 30 triliun. Jika
harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 sekalipun, ICW menghitung total
beban subsidi BBM hanya Rp 68 triliun. Adapun hitungan pemerintah
sebesar Rp111 triliun. Selisihnya hampir Rp 43 triliun. ICW menilai hal
ini bisa menjadi celah penyimpangan.
"Persoalannya tidak
transparan. Saya juga tidak tahu apakah ini adalah bagian dari semacam
investasi atau ATM politik bagi semua partai. Bisa saja dibajak
kepentingan politik, di mana selisih Rp 30 triliun bisa saja dibagi
bersama-sama bisnis, pengusaha, dan politik rente. Kepentingan politik
kan butuh dana," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar