Label

29/03/12

Jangan jadikan BBM mainan politik

Di Indonesia ada kejadian yg sangat aneh,yaitu zat cair yg bsa naik ke atas,berdasarkan rumus Pengetahuan Alam bahwa zat cair itu akan turun ke bawah,tetapi BBM yg termasuk zat cair malah naik ke atas.
Indonesia Corruption Watch mengharapkan agar kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dijadikan alat politik pencitraan penguasa. Menurut Koordinator Divisi Pengawasan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, harga BBM bisa saja berubah lagi menjelang Pemilihan Umum 2014 sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang berkuasa.
"Bisa saja dinaikkan dulu, kemudian diturunkan lagi harganya pada saat jelang Pemilu atau tahun 2013 nanti, kemudian diklaim, 'Kami pemerintah dan politisi yang sudah menurunkan BBM berkali-kali.' Pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi," ujar Firdaus dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Rabu (28/3/2012).
Dugaan lain ICW terkait kebijakan kenaikan harga BBM ini adalah pemerintah dan DPR RI bersikap tidak transparan kepada publik dalam menjelaskan kalkulasi perhitungan biaya subsidi BBM ini. Firdaus menduga hal itu dilakukan agar nantinya ada penggelembungan dana (mark up) yang dipakai untuk kepentingan bersama.
Firdaus berpendapat, DPR seharusnya mengetahui jelas perhitungan biaya subsidi pemerintah yang diduga terdapat dugaan mark up Rp 30 triliun. Ada perbedaan hasil perhitungan biaya subsidi BBM antara pemerintah dan ICW, yang kata Firdaus harus ditelusuri kembali. ICW juga menghitung dengan metode yang sama dengan pemerintah. Menurut ICW, jika harga BBM jenis premium dan solar tidak naik atau tetap di harga Rp 4.500/liter, maka total beban subsidi BBM dan LPG hanya Rp 148 triliun. Hal ini berbeda dari perhitungan pemerintah beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 178 triliun jika harga BBM tersebut tidak dinaikkan.
Perbedaan hitungan inilah yang menunjukkan indikasi mark up sebesar Rp 30 triliun. Jika harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 sekalipun, ICW menghitung total beban subsidi BBM hanya Rp 68 triliun. Adapun hitungan pemerintah sebesar Rp111 triliun. Selisihnya hampir Rp 43 triliun. ICW menilai hal ini bisa menjadi celah penyimpangan.
"Persoalannya tidak transparan. Saya juga tidak tahu apakah ini adalah bagian dari semacam investasi atau ATM politik bagi semua partai. Bisa saja dibajak kepentingan politik, di mana selisih Rp 30 triliun bisa saja dibagi bersama-sama bisnis, pengusaha, dan politik rente. Kepentingan politik kan butuh dana," ujarnya.

Tidak ada komentar: